Kaki Bebek

Mengupas Sedikit Sejarah An-nushairiyyah

An-nushairiyyah, adalah salah satu kelompok Syiah sempalan dalam Islam, meskipun dia pada mulanya berafiliasi dengan Syiah itsna Al-as'ariyyah namun mereka sering digolongkan sebagai kaum yang heretik, Pada awalnya aliran ini didirikan pertama kali oleh Abu Syu'aib Muhammad bin Nusair Al-'abdy Al-bakry annumairy Al-basry, dia hidup pada tahun ke tiga Hijriah sezaman dengan tiga tokoh spiritual Syiah, yaitu Ali Al-hady Al-askary (Imam ke sepuluh) Hasan Al-askary (Imam ke sebelas) dan Imam ketiga belas Muhammad Al-Mahdi, yang dari dulu sampai sekarang belum ada Wujudnya.

Sejarah kemunculan An-nusairiyyah penuh dengan lika-liku. diawali dari perbedaan pendapat kelompok Syiah pasca mangkatnya Imam kesebelas mereka Hasan Al-askary. Inti perbedaan mereka adalah mempertanyakan keabsahan Imam ke-duabelas Al-mahdy al-muntadzar, apakah dia anak keturunan Hasan Al-askary atau bukan. Hal ini menjadi wajib bagi madzhab Syiah, Karena selain Imamah merupakan salah satu Rukun Iman mereka, seorang Imam haruslah mempunyi pertalian darah dengan Rasulullah SAW. paling tidak dari perbedaan ini mereka terbagi menjadi empat belas sekte, dari semua sekte yang berbeda mayoritas menolak Al-mahdi adalah keturunan langsung dari Hasan Al-askary kecuali Tiga sekte saja yang menerima. Dari Ketiga sekte yang menerima inipun mereka berbeda pendapat lagi tentang awal mula dan kelahiran almahdi, ada yang berpendapat Imam al mahdi lahir sebelum ayahnya Al-askary meninggal ada juga yang mengatakan sesudahnya, Syiah itsna asyariyyah yang termasuk ketiga golongan ini mencoba mengkolerasikan kedua pendapat diatas namun gagal, akhirnya mayoritas merekapun menerima pendapat yang pertama yang mengatakan bahwa al-mahdi lahir dua tahun sebelum Imam Al-askary meninggal. Dari sinilah munculnya golongan Syiah Itsna 'asyariyyah.

Pasca gahib-nya Imam al-mahdy dan menunggunya sampai dia datang kembali, maka keImamahan tidak boleh kosong, untuk itu perlu diangkat Imam sebagai wakil agar mengisi kekosongan tadi, Imam inilah yang di jadikan referensi nantinya sampai munculnya kembali Imam ke dua belas Al-mahdy al-muntadzar. Menurut keyakinan Syiah setiap Imam haruslah mempunyai Pintu (al-bab), sebagaimana Ali RA. merupakan pintu Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits dinyatakan "man thalabal ilma fa'alaihi bil babi. Wa ana madinatul ilm, wa aliyyu babuha" pintu inilah yang akan menjadi hamzatul wasal antara satu Imam dan Imam yang setelahnya. Dari keseluruhan Imam yang disucikan mereka semua di yakini mempunyai pintu. Untuk lebih spesifiknya lagi kita akan sebutkan pintu dari masing-masing Imam .

1. Ali Ra. Dan pintunya = Salman al farisi. Ra.

2. Hasan Ra. Pintunya = Qays bin waraqah

3. Husain Ra. Pintunya = Rasyid al-hijry

4. Ali zainal abidin. Pintunya = Abdullah alghalib.

5. Muhammad Al-baqir. Pintunya = yahya bin ma'mar bin ummu thawil.

6. Ja'far asshadiq. Pintunya = jabir bin yazid alja'fary

7. Musa al kadzim. Pintunya = Muhammad bin abi zainab al-kahily

8. Ali bin ridha. Pintunya = al mufaddhal bin umar.

9. Muhammad aljawwad. Pintunya = Muhammad bin almufaddhal bin umar.

10. Ali al hady. Pintunya = Umar bin farraat.

11. Hasan al asykary. Pintunya = Abu syu'aib Muhammad bin nushair al bashri annumairy (pendiri Annushairiyyah )

Adapun Imam ke duabelas karena dia adalah Imam yang ghaib dan tidak pernah kelihatan wujud aslinya, maka Syiah pun berbeda pendapat siapakah yang harus menjadi pintunya. menurut Annushairiyyah, karena Imam al-mahdy belum menampakkan jati dirinya di kehidupan nyata maka secara otomatis Abu Syua'aib Muhammad bin Nushair yang merupakan pintu Imam Al-askary menjadi pintu bagi al-mahdy. namun pernyataan ini tidak serta-merta diterima oleh Syiah yang lain, Karena menurut mereka, al-bab bagi Imam ke Sebelas adalah empat orang, yaitu Utsman bin Sa’id Al-‘Amri, Muhammad bin Utsman bin Sa’id, Husain bin Ruh An-Naubakhti, dan Ali bin Muhammad As-Samiri. Karena di tolak akhirnya Abu Syu'aib pun memisahkan diri dan membuat padepokan baru . yang nantinya masyhur dengan nama Annushairiyyah.

Muhammad bin Nushair pun beruzlah menjauhkan diri dari kelompok yang menyebrang dari pendapatanya dan mendirikan madrasah dan halaqah di Samarrah, hingga akhirnya iapun meninggal disana pada tahun 260 H. setelah dia meninggal ilmunyapun di wariskan kepada muridnya Abdullah bin Muhammad Al-janbalany, ia dijadikan pintu masuknya seseorang kedalam Syiah Nushairiyyah, Al-janbaly dikenal sebagai tokoh spiritual nushairiyyah yang ahli dalam berbagai bidang ilmu seperti filsafat dan Tasawwuf, pada zamannya ia mencoba mengkontaminasikan antara tiga faham. Syiah, Muktazilah dan Tasawwuf. Ditanganya pulalah muncul seorang pemuda Mesir yang nantinya meneruskan perjuangan Annushairiyyah.

Adalah Husain bin Hamdan Al-khusaiby, yang merupakan salah satu murid Abdullah bin Muhammad Al-janbalany, tatkala ia berziarah ke Mesir Al-khusaiby banyak menimbah ilmu padanya, iapun masuk dan berbaiat pada gurunya, setelah Al-janbaly meninggal, Al-khusaiby melakukan perjalanan di berbagai tempat spiritual nushairiyyah sambil menimbah ilmu dan mengajarkan ilmu yang ia dapati, iapun berjalan menuju Khursan dan Baghdad, disana ia banyak belajar pada guru besar nushairiyyah hingga iapun diangkat menjadi salah satu diantara mereka ia akhirnya diberi gelar dengan syaiku addin, setelah merasa dirinya telah matang iapun memperbaiki kembali serta menata ulang madzhab Annushairiyyah, tidak hanya itu, Al-khusaiby juga produktif didalam menulis, ia banyak mengarang buku-buku dan salah satu diantara bukunya yang paling fenomenal adalah " al-hidayatul kubra, wa asmaul aimmah wal ikhwan". Menurut Ibnu Hajar. Setelah ia memperdalami ilmu dari beberapa gurunya Al-khusaiby banyak menelorkan berbagai macam pendapat dan dogma yang berpengaruh dalam madzhab Annushairiyyah salah satunya adalah aqidah at-tanasukh wa al-lhulul.

Usaha Al-khusaiby yang telah mengokohkan madzhabnya dan memperbaiki kekurangannya tidaklah sia-sia. Pasca mangkatnya, Annushairy tidak lagi kekurangan guru spiritual, itu terlihat setelah Al-khusaiby meninggal muncullah tokoh-tokoh seperti Muhammad bin Ali Al-ahlaby setelah itu muncul pulalah abu Sa'id Al-maymun At-thabrany, dan kemudian Hasan Al-makzun. Namun setelah Al-makzun meninggal, annushairy kembali melemah dan berpencar-pencar.

DR. sulaiman al-halby berkata, bahwa setelah wafatnya Hasan Al-makdzun, maka Annushairiyyahpun terpencar dan tebagi-bagi di berbagai negri, hingga antara satu dengan lainnya tidak mempunyai ikatan, fenomena ini terjadi karena tiap-tiap dari fihak yang berhamburan telah memiliki syaikh dan guru spiritual masing-masing, namun meskipun demikian ada yang istimewa dari mereka yaitu dimanapun mereka berada mereka berusaha untuk menjadi pemimpin diwilayah yang mereka tempati dan memanfaatkan kelengahan masyarakat disekitarnya, dan inipun akhirnya berdampak besar pada kaum muslimin. utamanya di suriah, disaat kaum muslimin lengah mereka memperbaiki kuda-kuda mereka dan kemudian mengambil alih kekuasan.

READMORE
 

Kritik Ibnu Taimiyah Terhadap Filsafat Ibnu Rusyd

Prolog.

Dizaman salaf, kajian filsafat merupakan khazanah keIslaman yang tidak bisa kita lepas begitu saja, meskipun priode emasnya tidak begitu lama namun regenerasi itu selalu tumbuh dan berkembang, pembunuhan karakter pada the faunding father serta pembaintaian secara berantai terhadap buku-buku mereka, menjadi salah satu muara runtuhnya kejayaan filsafat dalam Islam. Deharmonisasi ini diawali dengan terhipnotisnya kaum muslimin pada filsafat Yunani yang mana pada masa itu menjadi candu bagi sebagian thalabul ilmi hingga akhirnya mereka meninggalkan teks-teks suci dari langit.

Proyek penerjemahan dizaman Khalifah Al-Ma'mun, merupakan salah satu tonggak sejarah awal mula filsafat hidup kembali, sebelumnya di Eropa tempat dimana ide itu mulai di rakit, filsafat dibungkam habis-habisan oleh para diktator kerajaan yang awalnya telah di rasuki alam bawah sadarnya oleh dewan Rahib-rahib Gereja. Dalam rangka kerja-sama, gereja sepertinya ingin berbagi kongsi penderitaan pada kaum muslimin karena filsafat, atas nama hadiah mereka mengirimkan buku-buku filsafat untuk dikonsumsi oleh kaum muslimin.

Setelah buku-buku itu di terjemahkan, maka mulailah virus ini menjangkiti kaum muslimin, hingga dominasi filsafat Yunani tak dapat di bendung lagi, hal ini menimbulkan keresahan bagi para agamawan. dan para cendikiawanpun akhirnya terbagi menajadi beberapa fraksi dalam kasus ini, antara menolak dan meneima, kubu yang menolak sekalipun mayoritas tidak dapat berbuat banyak karena dia harus berhadapan dengan penguasa yang notabene pelindung filsafat, hingga akhirnya beberapa dekade berikutnya dominasi ini pun tereleminasi, kaum muslimin yang dulunya meninggalkan nas-nas agama mulai kembali pada jalurnya, hingga disuatu kesempatan muncullah buku yang cukup fenomenal yang ditulis oleh Al-Gahzali Tahafutil Falasifah yang mengubur hidup-hidup Filsuf dan filsafat. Terbitnya buku Al-Ghazali ini merupakan pukulan yang telak bagi pegiat filsafat yang dulunya candu, manusiapun akhirnya menjadi alergi mendekati apalagi menyentuh filsafat yang mereka sebut sebagai barang Haram.

Dilain benua di ujung barat kerajaan Islam, tepatnya di Andalusia. meskipun sebagian pemerintahan Islam telah terdoktrin oleh buku Al-Ghazali dan faham Asyairah, namun sebagian diantara mereka ada juga yang masih berfikir kritik dan radikal. Mereka tidak sertamerta menerima begitu saja argument yang di tawarkan oleh Al-Ghazali. Adalah Ibnu Rusyd al-hafid salah satu diantara ulama Andalusia yang tidak sefaham dengan ide Al-Ghazali, menurut dia sangatlah subjektif bila kita membeo pada Al-Ghazali dan menelan mentah-mentah doktrinnya tanpa melakukan observasi terhadap yang dia kritiknya, Ibnu Rusyd pun kembali melakukan observasi terhadap kajian Al-Ghazali, iapun kembali melakukan riset pada buku-buku aslinya dan ternyat hasilnya cukup mencengankan, Ibnu Rusyd tidak hanya mendapatkan pengetahuan baru dari sana akan tetapi juga membongkar kedok Al-Ghazali yang selama ini jadi panutan.

Menurut Ibnu Rusyd, keritikan Al-Ghazali terhadap filsafat Yunani tidaklah fair, karena ternyata Al-Ghazali hanya memahami filsafat melalui buku-buku Ibnu Sina dan tidak merujuk langsung dari teks aslinya. Sementara menurut Ibnu Rusyd buku-buku karangan Ibnu Sina tentang filsafat memiliki beberapa kelemahan dan perlu di koreksi ulang, inti permasalahannya adalah Ibnu Sina membaca terjemahan yang salah terhadap filsafat Aristo Dkk. Disinillah letak kerancuan Al-Ghazali memahami filsafat, Al-Ghazali tidak memahami secara mendetail esensi filsafat hingga akhirnya ia mempertontonkan kebodohannya didepan publik, Ibnu Rusyd bahkan memberikan sentilan lucu pada buku Al-Ghazali, bahwa seharusnya buku itu tidak diberi nama tahafutil falasifah tetapi dia lebih cocok disebut dengan tahafutil Ghazali.[1]

Setelah semuanya semakin jelas akhirnya Ibnu Rusyd harus menghentikan doktrin Al-Ghazali yang selama ini ditelan mentah-mentah, ia akhirnya membuat sebuah buku yang gertakan lebih dahsyat dari gertakan Al-Ghazali sebelumnya, ia mengarang tahafut tahafut sebagai antitesa dari buku Al-Ghazali tahafut falasifah. Di dalam buku ini Ibnu Rusyd menelanjangi Al-Ghazali dan orang-orang yang selama ini seirama dengan nyanyiannya, ia mempreteli habis-habisan produk Al-Ghazali serta menjawab berbagai macam keritikan Al-Ghazali terhadap filsafat.

Buku tahafut-tahafut cukup memberikan angin segar bagi filsafat yang dulunya sempat mati suri oleh buku alghazali, secara pelan-pelan para Filsuf mulai menampakkan batang hidungnya kepermukaan, angin kebebasan ini ternyata berhembus tidak hanya didalam dunia Islam saja namun angin syurga ini juga berhembus sampai kedaratan eropa yang sampai saat itu masih dalam kegelapan.

Namun Kebangkitan filsafat ini tidaklah berlangsung begitu lama, sekalipun baru saja merasakan nafas kebebasan, filsafat harus menghadapi berbagai macam gempuran dari pribumi tempat dia bertengger. lika-liku perjalanan filsafat didalam dunia Islam memang penuh dengan cobaan dan penderitaan, sebagai produk impor filsafat memang wajar di anak tirikan oleh Islam.

Didaratan Timur Tengah Syiria, tidak jauh dimana wahyu suci Tuhan diturunkan, lahirlah seorang sosok yang nantinya menjadi super hero ummat Islam, pemuda Jomblo yang banyak menghabiskan waktunya mencari ilmu, berjihad dan dipenjara ini, muncul kepermukaan sebagai pembela Al-quran dan As-sunnah, beliau adalah syaikul Islam Ibnu Taimiyah, seorang pemudah gagah yang sibuk melayani ummat hingga ia lupa menyempurnakan sebagian dari agamanya, iapun mencoba ikut nimbrung mengcounter isu-isu sesat yang sering dilontarkan oleh para Filsuf, bukan hanya para Filsuf saja yang ia hardik akan tetapi aliran-aliran yang nyeleneh didalam Islam tidak luput dari kritikannya.

Kehidupan beliau paska Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd menjadikan dia ideal untuk mempreteli semua ide-ide yang ditelorkan oleh mereka. Ibnu Taimiyah menganggap bahwa Al-Ghazali dan mutakallimin telah gagal melawan para pendekar-pendekar Filsuf. hingga merekapun keteteran dan tak berdaya. menurut Ibnu Taimiyah Ketidak-berdayaan mutakallimin ini disebabkan karena mereka meninggalkan Al-quran dan as-sunnah sebagaimana difahami oleh para salaful ummah, mereka mencoba menggunakan rasionya hingga iapun terjebak oleh pengaruh filsafat sesat.

Semenatara itu titik Kesesatan mutaklliminn diindikasi oleh beliau karena para mutakallimin banyak mengkonsumsi buku-buku filsafat, disinilah awal mula ketidak harmonisan Ibnu Taimiyah dan filsafat mulai terbentuk, Ibnu Taimiyah melihat bahwa Agama yang telah di turunkan oleh Allah SWT telah komplit dan tidak lagi membutuhkan penyokong dari luar, Ibnu Taimiyah juga menyesalkan para mutakallimin dan Filsuf Islam yang lebih memprioritaskan produk akal yang nisbi dibanding teks suci Al-quran yang suci. Melihat keadaan yang semakin kacau balau, Ibnu Taimiyahpun mulai mengambil inisiatif melancarka serangan counter-atacck kepada para Filsuf penyebar kesesatan, tak satupun yang tersisa dari mereka tak terkecuali Ibnu Rusyd alhafid yang selama ini di anggap sebagai manusia setengah dewa dan pendekar nomer wahid pada kominitas filsafat.

POKOK PERMASALAHAN.

1. Mendamaikan Agama dan Filsafat.

Sudah menjadi tradisi oleh para hukama (Filsuf Islam) bahwa disetiap kajian mereka selalu di barengi dengan perkawinan antara agama dan filsafat, ini menjadi penting buat mereka, karena selain mereka adalah Filsuf yang beragama, ini juga sebagai amunisi buat mereka yang sering mendiskreditkan filsafat, menurut Muhammad Amin. bahwa hampir distiap hakikat kebenaran yang diraih oleh para Filsuf, bertujuan ingin membuktikan bahwa filsafat tidaklah bertentangan dengan agama.[2]

Ibnu Rusyd sendiri mempunyai coretan kecil mengenai hubungan syariat dan hikmah, paling tidak ada dua buku beliau yang sangat fenomenal yang menyinggung masalah ini, seperti buku fasl maqal fima bainassyariah wal hikmah begitu juga bukunya manahij al adillah, didalam kedua buku ini Ibnu Rusyd membahas secara gamblang korelasi antara filsafat dan agama, bahwa keduanya saling berjalan secara bergandengan. Akan tetapi menurut Ibnu Taimiyah trik yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd ini adalah hal yang lucu, karena jangankan untuk menyatukan keduannya (baca: filsafat dan agama) menyatukan antara pendapat mereka sendiri saja sangat kerepotan. Seperti yang telah diusahakan oleh Al farrabi ketika ingin penyatuan pendapat antara Plato dan Aristoteles didalam bukunya : al jamu baina ra'yul hukamain. Al farrabi terkesan sangat memaksakan, usaha al farrabi ini dimotivasi atas presepsi bahwa kebenaran itu Cuma satu dan para Filsuf tidak akan mungkin bertentangan[3]. Sementara perbedaan pendapat didalam filsafat itu adalah hal yang lumrah, karena didalam filsafat seseorang dituntut untuk berfikir secara bebas tanpa mengekor pada pendahulunya.

Selain itu Ibnu Taimiyah juga mengkritik pembagian cara berfikir manusia oleh Ibnu Rusyd menjadi tiga bagian, pertama: metode orang awwam (khitabi), kedua cara berfikir dealektika ( jadaly/ Mutakallimin) kemudian ketiga cara berfikir Demonstratif (Burhani). Pembagian iini pada awalnya di prakarsai oleh Filsuf-Filsuf sebelum Ibnu Rusyd seperti Ibnu Sina Dll.[4] pembagian tabakat manusia menjadi tiga bagian ini menurut Ibnu Taimiyah sangatlah bertentangan dengan fitrah, bahkan bisa berakibat fatal bagi prinsip keyakinan seseorang, seseorang bila meyakini pembagian tabhakat ini akan mensejajarkan para Filsuf dan nabi-nabi Utusan, bahkan bisa lebih dari itu.

2. Qidam Alam

Qidamul alam adalah masalah paling legendaries dan paling menggemparkan dunia teologi, hampir disetiap kajian filsafat dan kalam berbicara tentang masalah ini, Ibnu Taimiyah sekalipun berada pada kajian afiliasi yang berbeda namun merasa risih mendengar ocehan kedua kelompok yang terus menerus berkelahi yang tidak menemukan titik temu, hingga akhirnya iapun ikut nimbrung bergelut, memberikan solusi yang demostratif dan tidak membangkang dari jalur syariat.

Didalam keritiknya, Ibnu Taimiyah menganalisa bahwa ungkapan qidamul alam ( keazalian alam) dan hawadis la awwala laha (hal-hal baru yang azali) adalah dua ungkapan yang mujmal (global) yang masih mengandung ambiguitas makna. Keazalian alam dalam pengertian an-nawu' (azalinya jinsul alam/ bahwa tidak ada satu masapun dimana disitu tidak ada makhluk apapun sama sekali) tentu berbeda dengan keazalian alam dalam pengertian qidamul 'ain (azalinya entitas-entitas tertentu didalam alam).

Ungkapan hawadits la awwala laha dalam pengertian la awwala li jinsiha ( rangkaian kemunculan makhluk atau kejadian yang tak terputus) juga tentu berbeda dengan ungkapan serupa dengan pengertian la awwala li 'ainiha (beberapa makhluk atau kejadian spesifik yang tidak pernah ada ). Kedua ungkapan ini memiliki kebenaran yang berbeda, jadi tidak bisa dipukul rata untuk sama-sama di mustahilkan kemungkinannya.

Pernyataaan pertama yang berarti " keazalian jenis alam" atau " ketidak-berhinggaan rangkaian penciptaan" jelas bukanlah sesuatu yang mustahil, sebab kapanpun sejak zaman azali sampai zaman abadi sang pencipta selalu ada, sehingga kemungkinan adanya ciptaan hasil kreasiNYA juga selalu ada dan tidak pernah mustahil, jadi tidak ada batas awal atau batas akhir yang spesifik untuk memungkinkan adanya makhluk, sebab sebelum batas awal tadi dan setelah batas akhir itu, Allah sudah selalu mampu untuk menciptakan makhluk-makhluk jika dia mengkhendakinya.[5]

Ketidak jelian Filsuf dan mutakallimin dalam membedakan antara universal"Nau" dan spesifik "ain" inilah menurut Ibnu Taimiyah telah menyebabkan kedua macam doktrin yang mereka hasilkan sama-sama tidak valid dan mengandung kekeliruan konseptual. Filsuf menyatakan bahwa ada beberapa entitas spesifik dari alam ini yang tak berawal dan azali bersama Tuhan,, yaitu Akal sepuluh, nafs dan aflak[6]. Atau dalam bahasa Ibnu Rusyd dia adalah maujud yang tidak berasal dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman akan tetapi dia muncul dari sesuatu, eksistensinya hampir mirip dengan wujud yang qadim namun pada hakikatnya dia bukanlah qadim dan hakikat dia bukan pula baharu. Itulah Alam.[7]

Sementara itu di pihak lain dari kalangan mutakallimin yang diharap untuk menggempur serangan Filsuf golongan hitam malah tidak berdaya, bahkan jatuh pada dalil-dalil irasional dan shopis, kegagalan ini mengakibatkan kalangan Filsuf menjadi besar kepala dan berasumsi bahwa teori ( qidamul alam) yang mereka tawarkan memang betul-betul memuaskan seluru pihak.

Konsep mutakallimin tentang proses terjadinya alam sendiri banyak terpengaruh oleh kredo attarjih bila murajjah (perubahan tampa sebab) menurut mutakallimin bahwa sejak zaman azali sampai saat momen diciptakannya makluk yang pertama kali, Tuhan hanya sendirian dan tidak ada pernah makhluk ada yang di ciptakannya sama sekali. Aliran Muktazilah dan Karramiyah menyatakan bahwa ketiadaan makhluk sebelum momen itu karena Tuhan" masih mustahil melakukan ciptaan ("mumtani'un alaih"). Sedangkan kalangan Kullabiah dan Asyairah menyatakan bahwa ketiadaan makhluk sebelum momen tersebut adalah karena Iradah azaliah Tuhan masih mustahil mewujudkan hasilnya ("mumtani'un minhu"). Konsukwnsi logisnya bagi Muktazilah, Tuhan di zaman azali "belum mampu mencipta" dan tiba-tiba bisa mencipta pada saat penciptaan makhluk yang pertama. Sedangkan bagi Asyairah, di zaman azali Iradah Tuhan untuk mencipta belum bisa mewujudkan hasil ciptaannya dan tiba-tiba bisa mewujudkan hasilnya pada waktu penciptaan makhluk yang pertama. Absuriditas konsepsi Asyairah ini diakibatkan oleh presepsi aksiomatik mereka yang menyatakan bahwa iradah Allah untuk seluruh kejadian dan makhluk di sepanjang zaman adalah sidfat azali yang tunggal dan tidak terbilang. [8]

Kegamangan argumentasi mutakallimin ini sebenarnya memberikan celah yang cukup besar buat para Filsuf untuk menanamkan ideologinya pada ummat sekaligus memporak-porandakan benteng pertahanan mutakallimin, oleh karenanya Ibnu Taimiyahpun berkata " fala Islama nasharuhu walal aduwwa kassaruhu" ( Islam tidak berhasil mereka bela, dan musuhpun tidak berhasil mereka kalahkan)[9]

Menurut Ibnu Taimiyah argumentasi yang cukup ampuh untuk melumpuhkan serangan fisafat adalah dengan metode Tuntunan Al quran, didalam Al quran menyatakan bahwa Allah Swt. Memiliki sifat " faalun lima yurid","al-kahalikul 'alim" dan " kullu yaumin huwa fi sya'n". ayat-ayat ini menandaskan bahwa secara azali dan abadi, Allah Swt adalah Tuhan yang maha pencipta dan tidak pernah tidak mampu ataupun tidak berhasil mewujudkan ciptaaannya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat lain " afaman yakhluk ka man la yakhluq? Afala yatazakkarun?"

Akan tetapi, satu-persatu dari masing-masing ciptaannya itu tentu saja memiliki titik awal untuk keberadaannya sebab ia tidak mungkin ada sebelum di kehendaki dan diciptakan oleh Allah, prespektif ini dinyatakan secara gambling oleh firmannya" innama amruhu idza arada syaian an yaqula lahu Kun fayakun". Jadi argumentasi kemungkinan adanya makhluk itu azali dan abadi,akan tetapi satu persatu dari makhluk-makhluk ini pastilah baharu dan pernah tidak ada. Konsepsi ini dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah sesuai dengan kredo para ulama salaf seperti Nu'man bin ahmad, ibnul Mubarak, Imam Ahmad, Imam bukhari dan Addarimi; " lam yazal mutakalliman idza sya'a mata sya'a wa kayfa sya'a" dan " man lam yakun lahu fi'lun fahuwa mayyitun"[10]

3. Mantiq.

Setelah mengawinkan antara filsafat dan agama, Ibnu Rusyd semakin gencar mempromosikan produk-produk Yunani, selain filsafat Ibnu Rusyd mempublikasikan pada para akademisi metode bernalar yang benar dari Yunani "Mantiq". Produk yang dipopulerkan Ibnu Sina dan Gahzali ini sangat menyihir dan berpengaruh pada Buku-buku Ibnu Rusyd, didalam kitabnya fasl maqal ia menjelaskan Hukum mempelajari ilmu dealiktika aristoteles ini ia berkata : karena sebab kemampuan manusia dalam membuktikan kebenaran itu berbeda-beda. Ada yang mampu membuktikan kebenaran melalului metode berfikir demonstratif (burhani). Ada yang mampu membuktikan kebenaran melalui metode dialektik (jadaly/ metode mutakallimin), seteguh pembuktian yang di tunjukkan oleh ahli berfikir demonstrative,karena ia tidak memiliki kemampuan lebih dari itu. Ada juga yang membuktikan kebenaran melalui metode berfikir retorik (orang awwwam/ khitaby) seteguh pembuktian yang di tunjukkan oleh ahli berfikir demonstrative.[11]

Oleh karena syariat kita menyeru manusia untuk melakukan ketiga metode itu, maka pembuktian kebenaran melalui ketiga pembuktian itu juga berlaku menyeluruh bagi semua orang, kecuali orang yang keras kepala dan ingkar, menurutnya ilmu mantiq tidaklah sama sekali bertentangan syariat yang dibawa oleh Nabi bahkan selalu sejalan dan saling menopangi. Untuk maksud inilah mengapa rasul Saw. Diutus kepada semua bangsa, baik yang putih maupun yang hitam, karena syariat yang dibawa nabi mencakup semua metode ajakan menuju Tuhan yang maha tinggi[12]. Hal ini dinyatakan dengan jelas dalam firmannya : serulah kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat baikdan bantahlah mereka dengan metode yang lebih baik.[13]

Sekali lagi, karena yariat ini benar dan ia menyeru untuk mempelajari sesuatu kearah yang benar,maka penelitian tentang maujud dengan menggunakan metode berfikir demonstrative tidak akan menghasilkan pandangan yang bertentangan dengan ajaran syariat[14]

Ibnu Taimiyah membantah dengan keras argumentasi Ibnu Rusyd yang melegalkan ilmu qiyas burhani dalam agama dan menyamakannya dengan ilmu para Nabi-nabi, menurutnya, qiyas burhani atau ilmu mantik pada awalnya bukanlah ilmu yang diwariskan oleh para nabi sebagaimana yang diargumentasikan oleh Al-Ghazali didalam bukunya Alqishtas, tetapi Al-Ghazali berguru pada buku-buku Ibnu Sina dan Ibnu Sina berguru pada buku-buku Arisoteles[15]

Selanjutnya Ibnu Taimiyah juga tidak sependapat dengan intrepretasi Ibnu Rusyd tentang QS An nahal ayat 125. Menurut Ibnu Taimiyah ayat ini sama sekali tidak mempunyai kolerasi dengan anjuran menggunakan metode berfikir demonstrative, dealektik maupun retorik, menurutnya sekalipun ayat ini yang dimaksud demikian maka metode yang ditawarkan oleh Ibnu Rusyd tidak bisa dijadikan landasan bernalar, karena metode qiyas burhani yang ditawarkan oleh Ibnu Rusyd adalah metode filsafat Yunani yang mana metode ini hanya mengetahui sesuatu yang bersifat Kulli (universal) dan tidak mengetahui sesuatu yang spsifik. Sementara pengetahuan yang universal itu hanya ada didalam fikiran kita sajadan tidak keluar ke alam realita.[16]

Ibnu Taimiyah mencoba memperbaiki asumsi Ibnu Rusyd yang salah tentang ayat tadi, menurutnya manusia itu tidak lepas dari tiga kondisi: kondisi dimana dia mengetahui kebenaran kemudian mengerjakan kebenaran itu. Atau mengetahui kebenaran namun dia tidak mengerjakan kebenaran itu. Kondisi yang ketiga adalah kondisi dimana manusia sama sekali tidak mengetahui kebenaran.

Orang yang berada pada kondisi yang pertama, mereka inilah yang sering mengajak dan menyeru manusia kepada hikmah. Hikmah yang dimaksud disini bukanlah hikmah yang sering dikatagorikan oleh Ibnu Rusyd yaitu para Filsuf atau orang yang berfikir demonstrative, akan tetapi Hikmah dalam ayat ini adalah orang yang mengetahui kebenaran kemudian mengerjakannya. Orang yang kedua adalah orang yang mengetahui kebenaran tetapi jiwanya selalu melawan, tipe manusia semacam ini membutuhkan nasehat yang baik inilah yang dimaksud (mau'idzatul hasanah) sementara maksud kata " jidal " disini bukana berarti menyerang, akan tetapi lebih pada artian Pembelaan "addifa' kepada orang-orang yang selalu menyerang agama, dan pembelaan disini harus dengan cara yang halus dan baik. Oleh karena itu mengapa kata " jadiluhm" dan "ud'u" sama-sama berkonotasi perintah "amr" karena jidal itu haruslah dibarengi dengan Ihsan.[17]

Selain Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah juga menyalahkan para fukaha dan ulama kalam yang apriori dan dengan sengaja memasukkan mantiq Yunani ini dalam Agama, sampai diantara mereka ada yang berargumen bahwa kebenaran qiyas mantik Yunani ini di topang oleh hadis-hadis rasul, diantara hadits yang sering di eksploitasi oleh pembela qias burhani ini adalah hadits maudhu' "kullu musykirin khamr, wa kullu khamarin haram". Menurut Ibnu Taimiyah selain Hadits ini derajatnya Maudhu. Rasulpun tidak pernah mengatakan bahwa keharaman khamar itu dilandasi oleh qiyas Yunani, akan tetapi nabi ingin memberikan Hukum yang didasari oleh Hujjah dan dalil[18]

Epilog.

Sebenarnya masih banyak lagi permasalahan yang belum saya angkat disini, seperti permasalahan hari kebangkitan, sebab akibat, masalah sifat Tuhan Dll dan itu saya rasa membutuhkan makalah dan pembacaan yang panjang, semoga dengan ketiga masalah ini bisa mencukupi untuk kita kembangkan dalam diskusi kita nanti. Wasalallahu ala sayyidina Muhammad, walhamdulillahi rabbil'alamin.


[1] DR. Atif Iraqy: Naz'atul aqliyyah fi falsafati ibn rusyd. Hal 78

[2] DR Muhammad Kamal Ibrahim ja'far : Fi ffalsafatil Islamiyah dirasah wannusus. Hal : 167

[3] DR soleh bin azamullah al ghamidi.: Mauqif syaikulIslam Ibnu Taimiyah min araai falasifah wa manhajihi wa ardihi. Hal 321

[4] DR. atthablawi Mahmud sa'd : Mauqif ibn taimiyah min falsafati ibn rusyd. Hal : 209

[5] Jurnal Himmah. Vol I. Syaikul Islam dan ilmu kalam. Oleh nidlol masyhud. LC Hal 67

[6] Ibid.

[7] Ibnu Rusyd: faslul maqal. Hal 20

[8] Jurnal Himmah. Vol I. Syaikul Islam dan ilmu kalam. Oleh nidlol masyhud. LC Hal 68

[9] Ibnu Taimiyah : Majmuatul fatawa jild 7 Hal89.

[10] Jurnal Himmah. Vol I. Syaikul Islam dan ilmu kalam. Oleh nidlol masyhud. LC Hal 68

[11] Ibnu Rusyd: faslul maqal. Hal: 15

[12] ibid

[13] QS An nahal ayat 125.

[14] Ibnu Rusyd : mendamaikan agama dan FIlsafat Hal :13

[15] Ibnu Taimiyah : arraddu ala mantiqiyyin. Hal 14

[16] Ibid Hal : 444

[17] Ibid. Hal :468

[18] ibid

READMORE
 

Benturan Metodelogi

Sebenarnya saya tidak ingin mengangkat masalah ini kepermukaan lagi, karna masalahnya tidaklah besar dan terlalu lebay bila masalah ini di angkat lagi. namun karena melihat perjalanan Dpd kita kedepannya masih jauh, dan juga untuk merekatkan kembali tali silaturahmi agar tidak renggang dan putus, maka saya mencoba mengklarifikasi kembali perbedaan sudut pandang kedua intelektual muda kita kemarin.

Jangan dianggap tulisan ini sebagai propokatif atau penyebar fitnah, tidak. Tujuan saya bukan kesana, saya hanya ingin kita mengetahui duduk permasalahannya seperti apa dan bagaimana menyelesaikannya? Posisi saya disini tidak memihak antara satu dari dua teman kita tadi, ataupun menjelek-jelekkan keduanya. Saya mencoba untuk fair dan taadul, melihat dari dua sisi yang berbeda dan saya berharap semoga tulisan ini di maklumi.

Bermuara dari pertanyaan salah seorang sahabat kita yang nyentrik pada seorang sarjana psikolog yang menjadi pembicara malam itu, pertanyaannya memang agak sedikit menggelitik dan centil. Maklumlah mungkin lagi masa-masa proses metamorfosa dari kepompong ke kupu-kupu, jadi keingin tahuannya lebih dominan dari masa-masa sebelumnya. Buktinya baru beberapa detik saja duduk sudah mengacungkan tangan untuk bertanya, sangat fantastis.!

Kalau pertanyaan anda centil maka jangan marah kalau jawabannyapun ikut centil, ini logika yang simple. Kalau anda bertanya tentang otomotif maka jangan harap anda mendapatkan jawaban biologi, karena itu tidak logis dan absurd. dan juga kalau anda bertanya tentang nahwu maka jangan harap anda akan mendapatkan jawaban fikih karena itu lucu dan anda akan ditertawai. Begitu juga dengan psikologi, sosiologi, hadits, filsafat, sastra Dll.

Namun yang menjadi titik tekan saya disini bukanlah pada pertanyaannya atau jawaban pemateri, tapi yang menjadi sorotan adalah cara bertanya dan cara menjawab.

yang menjadi pertanyaan, Apa yang salah dengan cara menjawabnya? Sebenarnya tidak ada yang salah dengan cara menjawabnya, hanya metode menjawab itu masih tabu dikalangan para audiens., benturan ini memang wajar terjadi dikarenakan latar belakang pendidikan yang berbeda. Dengan perbedaan ini maka metodenyapun ikut berbeda, namun hal ini bisa di antisipasi apabila antara keduanya saling memahami.

Bila kita lihat sepintas pendekatan yang digunakan pemateri sebelum memberikan kesimpulan adalah metode yang tidak hanya puas dengan jawaban teoritis, pemateri ingin memberikan jawaban yang lebih demonstrative Dan bisa memuaskan semua pihak.

Metode pendekatan seperti ini bukanlah hal yang tabu di dunia pendidikan, khususnya lagi pendidikan yang besicnya umum. Bahkan Metode semacam ini menjadi syarat wajib untuk memberikan kesimpulan pada setiap hipotesa. Biasanya mereka melakukan observasi terlebih dahulu melakukan penelitian kemudian percobaan lalu kesimpulan.

Di al azhar sendiri metode ini juga ikut dipelajari namun sayang dia hanya sekedar teori dan belum di peraktekkan. meskipun kita sering di berikan bahats oleh Dosen di kuliah namun itu masih kurang. Ini mungkin menjadi Pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan

Kembali kepembahasan pokok kita diatas. Lalu bagaimana cara mengatisipasi agar hal-hal semcam ini tidak terulang kembali? Jawabannya adalah semua fihak harus saling memahami, biasanya sebelum pemateri memberikan persentasenya dihadapan publik, dia terlebih dahulu memahami audiensnya, dia berbicara dengan siapa, apakah dia akademisi, politisi atau agamawan. Persentator harus mengobservasi dahulu sebelum memberikan persentase. Selain itu para hadirin juga harus mengetahui siapa persentatornya, dan juga materi apa yang ingin disampaikan. Jangan menghukumi secara kulli terhadap yang juz'iy karna itu logika yang salah. Inilah sebenarnya adab hiwar yang diajarkan oleh islam, saling tabayyun sebelum menghukumi dan menasehati apabila ada yang keliru. Saya rasa apabila keduanya saling mengerti dan saling memahami maka insya Allah hal-hal yang kita inginkan tidak akan muncul. wallahu a'lam bissawab.

READMORE
 

Berfikir Politik Ala Muktazilah

Muktazilah sebagai salah satu front yang cukup kontroversial dalam tubuh Islam, bukan hanya nikmat dikaji lewat ide-ide ushuliyah-nya namun barisan yang sering merepotkan para fukaha ini sangat sensasional bila kita menelusuri cara berfikir politiknya juga. Buku al fikri assiyasi indal Muktazilah yang ditulis oleh DR Najah Muhsin adalah salah satu buku yang mencoba menguak baju dalam Muktazilah yang selama beberapa dekade terakhir ini, sangat ekslusif dan jarang sekali terjamah oleh tangan-tangan akademisi. Menurut sang penulis awal mula munculnya buku ini adalah reaksi dari berbagai macam pergolakan yang mulai dikumandangkan oleh beberapa pemikir tentang konsep negara dan politik Islam. Begitupula dengan system perundang-undangan Islam, ke khalifaan dan masih banyak lagi permasalahan hukum dan ketata negaraan yang selama ini sering di abaikan.

Ini merupakan angin segar bagi akademisi yang senang berkecimpung dalam dunia politik terkhusus lagi Islam, untuk menggali kembali situs-situs perbendaharaan kejayaan Islam yang sudah lama terkubur di kerak bumi, selain itu juga proyek ini akan memberikan dampak yang signifikan, untuk membangunkan kembali turats-turast klasik Islam yang telah lama tertidur lelap.

Di awal-awal bukunya Doktorah Najah memberikan formula yang baru tentang histori awal-mula munculnya aliran Muktazilah, menurut beliau munculnya aliran ini jangan hanya dilihat dari segi pebedaan antara Hasan Albashri dan muridnya Wasil bin Atha' tentang posisi pelaku dosa besar, apakah dia mukmin atau kafir. Tapi perlu juga dilihat bahwa munculnya pendapat Wasil bin Atha ini sangatlah teradiasi oleh kondisi politik yang cukup semraut pada waktu itu, dimana pendukung Syiah, khawarij begitu juga umawiyyah saling bertikai dan mengkafirkan anratara satu dan lainnya. Selain itu juga Washil ingin menampakkan status politiknya di depan publik bahwa ia sama sekali tidak mendukung pihak yang bertikai antara Murjiah dan Khawarij.

Perlu diketahui bahwa dipriode awal kemunculan Muktazilah, situasi politik ummat Islam berada pada masa kegalauan yang akut. pasca mangkatnya Rasulullah Saw. kehadirat ilahi masalah Imamah selalu menjadi titik sentral pembicaraan, ini di sebabkan karena rasulullah tidak meninggalkan mandat kepada sahabatnya, siapakah yang pantas untuk menggantikan beliau setelah ia meninggal. Hingga akhirnya Persoalan Imamah telah menjadi rahasia umum sakaligus teka-teki dikalangan kaum muslimin, ia bagaikan virus atom yang radiasinya memapar sampai ke lubang jarum, setiap elemen ikut membicarakannya tak terkecuali Muktazilah.

Selain masalah Imamah diawal priode kemunculannya, Muktazilah juga sering berdealektika dengan persoalan peralihan model pemerintahan dari khalifah menjadi raja, disinilah awal mula Muktazilah memulai mengokohkan manhajnya dan sekaligus mengibarkan bendera perang pada kaum Jabariyyah.

Setelah menceritakan kemunculan Muktazilah yang sarat dengan politik, penulis kemudian menjelaskan dasar-dasar pengambilan keputusan politik Muktazilah yang mana dalam hal ini Muktazilah lebih mengedepankan rasionya dalam berargumentasi diatas segalanya, mereka menomer duakan nash sebagai dasar pijakan pertama dalam mengambil keputusan, menurut Muktazilah, seseorang tidak boleh mengenyampingkan akal sebagai hujjah, karena bila kita menafikan akal itu sama dengan menafikan agama. Muktazilah menjadikan akal sebagai wasilah untuk mengetahui segala sesuatunya, bahkan Al-qadhi Abdul Jabbar menegaskan salah satu jalan untuk mengetahui dan mengenal bahwa Alquran dan Assunuah adalah hujjah hanyalah dengan akal. untuk membuktikan hipotesa ini Muktazilah berdalih bahwa Tuhan hanya berbicara pada orang-orang yang berakal saja tidak dengan yang lainnya. Oleh karenanya sangatlah absurd bila menafikan akal sebagai argumentasi dalam berhujjah. Selain akal yang sering mereka agung-agungkan, Muktazilah juga berargumentasi dengan menggunakan dalil samiyyah, kemudian ijma dan qiyas.

Ushul khamsah adalah dasar yang tidak bisa di pisahkan dengan Muktazilah, bahkan didalam buku alintishar. Karangan Alkhayyat salah seorang tokoh Muktazilah Bagdad dengan tegas mengatakan bahwa; seseorang tidak bisa dikatakan Muktazilah bila dia tidak beriman pada ushul khamsah. Berbeda dengan para pegiat Muktazilah lainnya, Dr. Najah mencoba mengungkap prespektif lain dari munculnya ushul khmasah, yang mana ia tidak hanya mengaitkan usul khamsah sebagai dasar keyakinan ushul Muktazilah, namun kemunculannya mendapatkan pengaruh besar dari lingkungan politik dimana Muktazilah bermetamorfosa. Hipotesa beliau ini dikuatkan dengan perkataan Syaikh Muktazilah Abdul jabbar; apakah kalian tidak memperhatikan perbedaan kami dengan kaum Atheist Dahriyah dan Musabbihah masuk dalam bab Tauhid. Perbedaan kami dengan Jabariyyah masuk pada bab Adil, perbedaan kami dengan Murjiah pada bab alwa'du wal wa'id, perbadaan kami dengan Khawarij masuk pada bab manzilah baina manzilatain. Dan perbedaan kami dengan Syiah Imamiyah masuk pada bab al amru bil ma'ruf wannahyu anil munkar?.

Bila kita menoleh kebelakang sebentar, maka antara Muktazilah dan Syiah sebenarnya mempunyai kedekatan yang sangat special, selain pernah beratapkan satu dalam dinasti Buwaihiyyah. Imam Zaid bin Ali yang merupakan tokoh puncak spiritual dalam madzhab Syiah Zaidiyyah adalah murid langsung dari Wasil bin Atha', bahkan Al-multhy. memasukkan pengikut Zaidiyyah sebagai tabakat keempat Muktazilah di Baghdad. Namun meskipun demikian kedekatan keduanya khususnya Syiah Imamiyah tidak lebih pada batas politik saja, meskipun awalnya Muktazilah terlihat pragmatis namun perbedaan manhaj yang begitu mencolok hingga akhirnya hubungan mereka tidak dapat disatukan lagi.

pada pasal ke empat dan kelima dari buku ini penulis mulai masuk pada inti dari corak berfikir politik Muktazilah, mulai dari perbedaan pendapat tentang kewajiban mendirikan Imamah hingga tata cara pemilihan Imam, menurut Muktazilah pengangkatan Imamah diserahkan sepenuhnya oleh ahlul halli wal aqdi dan awwam tidak diberikan hak suara untuk memilih Imam. Menurut Abdul Jabbar bila ahlul halli wal aqdi telah memutuskan mengangkat seorang Imam maka dia telah resmi menjadi Imam dan kewajiban kita taat dan patuh kepadanya, namun solahiyyah ketaatan itu hanya berlaku bilamana Imam masih tetap adil dan tidak fasik, apabila seorang Imam tidak mampu lagi menjalankan tugasnya dengan baik maka jalan satu-satunya adalah ia harus di makzulkan, inilah yang menjadi pembeda antara blog Muktazilah dengan blog yang lainnya, mereka tidak segan-segan menumpahkan darah membasmi kemungkaran, hatta merekapun rela bergabung pada kelompok yang tidak se-ide dengan mereka demi membasmi ketidak adilan.

Didalam memakzulkan Imam, Muktazilah memberikan beberapa indikasi kapan seorang Imam wajib diturunkan, yang pertama apabila Imam telah fasiq, kemudian yang kedua, apabila Imam mempunyai kekurangan di tubuhnya, ketiga, apabila Imam telah keluar dari keadilan dan berlaku semena-mena terhadap rakyatnya, keempat tidak mapu lagi mengurus Ummat, kelima, Imam tidak sanggup lagi mendirikan urusannya.

Untuk ahlul halli wal aqdi sendiri Muktazilah memberikan tiga syarat yang patut dipenihi, seperti seorang pemilih dari ahlul halli wal aqdi harus mempunyai integritas keilmuan yang mumpuni, kemudian dia harus dari kalangan ahlu ra'yi wal hikmah dan syarat yang terakhir seorang alhlul halli walaqdi haruslah seorang yang Adil. Sementara itu syarat Imam yang wajib di penuhi menurut Muktazilah adalah; Pertama, dia harus Islam, kemudian berakal sehat, lalu dia harus merdeka, mempunyai Ilmu, Adil, dan harus berasal dari kalangan Qurais.

Pada pasal keenam penulis menguraikan posisi etika moral didalam mengelola negara, menurut Muktazilah posisi akhlak Islami memberikan peranan penting didalam membangun ekonomi negara, begitujuga didalam mengatur halal dan haram, Muktazilah juga menjelaskan bagaimana keluhuran akhlak Islam didalam menanggapi isu-isu kesetaraan dan feodalisme. Di pasal ini juga penulis menguraikan tentang keadilan dan syura serta urgensinya didalam mengokohkan Daulah Islamiyah.

Pada pasal ketujuh sekaligus Pasal terakhir dari buku ini menceritakan bagaiman Muktazilah menghadapi arus Populisme yang semakin merebak pasca ekspansi kaum muslimin di negara-negara Ajam, Assyu'ubiyah bagaikan tsunami yang terus mengguncang kerajaan arab yang seiring dengan waktu mulai semakin sakau. Dan Muktazilah muncul sebagai bagian dari manusia setengah dewa yang ikut melakukan perlawanan dan menangkis propaganda kaum Populis.

Sebagai epilog singkat dari saya, bahwa sejatinya khazanah politik Islam tidaklah fakir, dan ummat Islam tidak mesti meminjam metodelogi dari luar yang Cuma mengejar materi dan fana. Muktazilah adalah bagian kecil dari komunitas yang mampu menggali setitik mutiara dari agama ini, Islam telah di sempurnahkan oleh Tuhan dan telah mengajarkan kita cara berpolitik dan bernegara sesuai tuntunan Alquran, lalu mengapa mengapa sebagian kita masih tetap mengabaikannya.? Naudzu billahi min zalik

READMORE
 

Imam Ibrahim bin Yassar An-Nazzham Al-muktazily

Bila berbicara tentang pergolakan pemikiran islam, maka kita tidak akan pernah lupa dengan salah satu sekte besar dalam islam yaitu Muktazilah, sebuah aliran yang cukup kontroversial dalam islam, aliran ini pertamakali di cetuskan oleh Washil bin atha’, tatkala dia di usir oleh gurunya imam Hasan al bashri. Aliran ini mempunyai keyakinan bahwa tidak ada golongan yang selamat kecuali golongannya, dalam sebuah hadits yang diriwayat oleh mereka sendiri bahwa Rasulullah pernah berkata “ ummatku akan terpecah belah menjadi berapa bagian dan sebaik-baik bagian itu adalah muktazilah.” hadits ini diriwayatkan oleh utsman attawil dari qatadah.

Disini saya tidak akan berbicara panjang lebar tentang sejarah munculnya aliran ini, namun saya hanya ingin membuka sedikit tabir kecil dari salah seorang tokoh besar yang cukup andil dalam perbendaharaan islam secara umum dan muktazilah secara khusus, Beliau adalah seorang tokoh yang cukup Kontroversial baik dizamannya maupun zaman setelahnya, disegani oleh kawan dan lawan dan banyak menelorkan ide-ide meskipun idenya itu melawan arus zamannya. Beliau adalah Ibrahim bin Yassar Annazzham. Atau sering di kenal dengan imam Annazzham Al muktazily.

Ibrahim bin Yassar Annazzham menurut riwayat ibnu Nabatat lahir di Basrah pada tahun 185 H, namun riwayat ini masih simpang siur dan ganjal menurut sebagian sejarawan. Al mas’udy berkata bahwa Annazzham pernah ikut serta dalam majlis Yahya bin Khalid Al barmaky, salah seorang mentri dizaman Al rasyid, senada dengan itu al khawansary juga berkata bahwa Annadzam adalah penduduk basrah yang hidup dizaman kahlifah harun al rasyid, dia pernah dipanggil ke Baghdad oleh khalifah harun Al rasyid untuk berdebat dengan Husainiyah, Al kahwansary juga mengatakan bahwa Annazzham juga pernah bermunadzarah dengan Asyaafi’iy dan Al Qadi abi yusuf al Baghdadi. Banyak juga riwayat yang mengatakan bahwa Annazzham hidup dan sezaman dengan abu nuwwas atau yang sering dikenal dengan abu nawas.

Riwayat tahun kelahiran beliau memang masih simpang siur dan banyak riwayat yang berbeda-beda. Namun imam syahrastani begitupula dengan ibnu syakir dan abu mahasin mengatakan bahwa Annadzdam hidup dizaman kekhalifaan Al mu’tasim yang masa kekhalifaanya dimulai pada tahun 218 H/ 833 M. sampai pada tahun 227 H/ 842 M. Dan inilah riwayat yang banyak di pegang oleh beberapa kalangan. Wallahu a’lam.

FIKIH

Sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya bahwa Anndzdzam adalah tokoh unik dan sering dianggap menelorkan ide-ide yang nyeleneh. Ibnu rawandi misalnya meriwayatkan bahwa annadzam pernah memfatwakan bahwa seseorang yang telah berwudhu kemudian dia berbaring dengan pulas maka wudhunya tidak batal, senada dengan ibnu rawandi, ibnu qutaibah mengatakan bahwa Annazzham berpendapat bahwa seseorang yang tertidur bagaimanapun jenis tidurnya maka itu tidak membatalkan wudhunya. Anndzdzam mempunyai argument bahwa kebiasaan berwudhu setelah bangun dari tidur hanyalah tardasi orang-orang tua kita yang terus turun temurun, menurut Annazzham itu hanyalah kebiasaan seseorang yang tebangun diwaktu subuh lalu kemudian menyelesaikan hajatnya setelah itu mereka itu lalu berwudhu dan prilaku ini di contoh oleh anak-anaknya lalu kemudain menjadi hukum.

Namun pendapat ini di bantah oleh al-hayyat dalam kitabnya al intishar, bahwa riwayat ini bukanlah dari Annazzham tapi ia Cuma hikayat dari Imama Al jahidz dan sama sekali tidak bisa depegang dan dijadikan hujjah. Sebagaimana diketahui bahwa Al jahidz merupakan murid sekaligus teman dekat dan juga tetangga Annazzham. Diriwayatkan bahwa sangking dekatnya hubungan mereka berdua hingga mereka sering bertukar pinjam alat-alat dapur.

KHABAR

Selain itu Annazzham juga menolak khabar yang sifatnya mutawatir. Imam Al Baghdadi dalam firaqnya mengatakan bahwa Annazzham menolak keras khabar mutawatir, menurutnya khabar mutawatir bukanlah sebuah metode untuk mendapatkan pengetahuan dan dia bukanlah Hujjah. menurutnya bahwa bisa saja khabar mutawatir itu terjatuh pada kedustaan.

Ibnu hazam dalam bukunya menyebutkan bahwa annazzham pernah berkata : bahwa khabar mutawatir tidak bisa dipaksakan untuk diterima, karena masing-masing dari periwayatnya tidak terlepas dari kesalahan dan kebohongan dan ini sangatlah wajar bagi mereka, dan sebuah kemustahilan bila orang yang bisa saja berbuat salah dan bohong kemudian berkumpul dan berubah menjadi tidak bohong. Annazzam juga sedikit menyentil bahwa didalam perkumpulan tadi tidak menafikan adanya orang yang buta dan orang yang buta tidak bisa dikumpulkan dengan orang yang tidak buta.

Sementara itu ibnu rawandi juga meriwayatkan bahwa anndzdzam tidak memilah-milah didalam menerima khabar, baik itu pembawa beritanya adalah seorang mukmin atau dia adalah seorang musyrik. Ibnu rawandi melanjutkan menurut Annazzham bahwa syahadat seseorang itu bukanlah pembeda diterima dan ditolaknya sebuah khabar, karna posisi syahadat seseorang itu sendiri berada pada posisi Atta’abbud dan bukan littafdhil. Namun lagi-lagi pendapat Arrawandi ini di tolak habis-habisan oleh al hayyat dalam kitabnya al intishar.

Bersambung……..:D

READMORE
 

Sang Maha Ada

sanurihim ayatina fil afaq wafi anfusihim hatta yatabayyana lahum annahul haq

Keyakinan pada sang pencipta adalah suatu hal yang fitrah, setiap manusia akan merasakan perasaan bahwa dirinya tidak mungkin bisa hadir dengan sendirinya di jagad ini tanpa ada yang menjadikan dan menciptakannya, suku primitif misalnya yang dianggap sebagai manusia yang ummi-pun juga akan merasakan Hal yang sama, Ritual sesaji persembahan yang identik dengan suku ini hanyalah karna mereka berkeyakinan bahwa ada suatu kekuatan Abstrak yang sangat luar biasa berada diluar lingkup indra manusia yang mengatur Jagad ini.

Argumen tentang keberadaan Tuhan sebenarnya bukanlah argumen omong kosong belaka yang tidak dapat dibuktikan sebagaimana sering dituduhkan, tapi dalil kebertuhanan adalah argumen akseptasi yang tak tebantahkan dan dapat diterima secara Umum oleh manusia, oleh karenanya Rasul SAW berdakwah dikalangan dedengkot Qurays bukan karena mereka tidak beriman pada eksistensi Tuhan akan tetapi karna mereka menduakan Tuhan dengan yang lainya dalam Al Quran yang artinya “ dan ketika kalian bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit dan bumi ? maka mereka akan menjawab: Allah “ berangkat dari asumsi inilah mengapa para cendikiawan berpendapat bahwa kebertuhanan adalah fitrah bagi manusia dan itu adalah hal yang tak terbantahkan.

Dalil fitrah merupakan dalil yang secara simpel difahami oleh manusia tanpa melakukan penalaran yang mendalam, seseorang akan dengan sendirinya mengetahui bahwa ia membutuhkan air takala sedang dahaga atau seseorang dengan sendirinya mengetahui bahwa dia membutuhkan makanan bila ia sedang mengalami kelaparan inilah fitrah.

Begitu juga dengan jagat raya alam ini, Seseorang akan berkata bahwa Alam ini membutuhkan pencipta hingga dia bisa terbentuk dan tersusun secara rapi, analoginya bahwa setiap yang ada pasti ada yang mengadakannya. Kursi misalnya dia tidak akan terbentuk dan dapat diduduki kalau tidak ada tukang kursi, begitupula dengan Sepeda Motor dia tidak akan termodifikasi dengan sendirinya dan berjalan tanpa ada montir yang menukangi dan membuatnya. cara berfikir demikian adalah cara berfikir yang simpel dan sesuai akal dan fitrah manusia.

Meskipun demikian, Dalil diatas tidak serta merta akan bisa diterima oleh semua kalangan utamanya mereka yang meyakini bahwa Tuhan itu tidak ada atau para atheis. Orang atheis sekalipun ia meyakini bahwa segala sesuatu akibat pasti ada yang mengakibatkan, namun mereka tidak meyakini adanya sesuatu yang ada diluar alam indra manusia, mereka tidak percaya pada Hal-hal yang sifatnya metafisik [ ghaib ], menurut mereka bahwa segala sesuatu yang ada, haruslah real dan tampak dihadapan kita dia tidak boleh abstrak dan lazim bermateri.

Para ahli melihat, diantara penyebab kaum atheis berkata demikian, dikarenakan mereka berasumsi bahwa akal adalah satu-satunya alat penujuk dalam memecahkan segala sesuatu, padahal akal manusia itu sifatnya terbatas dan juga tidak semua urusan harus dikembalikan pada akal. Filsuf jerman imanuel kant misalnya meyentil para pendewa akal ini dalam bukunya “ naqd alaklu alkhalish ” ia berkata bahwa tak diragukan lagi bahwa akal tidak segalanya mampu mengetahui segala wujud sesuatu, ia hanya bisa mengetahui partikel-partikel yang nampak saja sama seperti dirinya. Sementara wujud yang lebih abstrak dari itu, akal tak mampu menggapainya seperti eksistensi Tuhan, karna yang dibutuhkan untuk mengenal wujud ini hanyalah hati nurani dan bukan Akal...selain Tuhan imanuel kant mencontohkan juga sesuatu yang tidak bisa diraba oleh akal tapi pada tatanan empiris dia bisa dirasakan keberadaannya oleh kita ia berkata ” kerinduan kita terhadap keadilan maka ini menjadi bukti bahwa adil itu ada, begitu juga dahaganya kita pada Air itu menunjukkan bahwa Air itu ada ”.

Kaum atheis Selain menggunakan akal sebagai pijakan berfikir, mereka juga sering menggunakan dalil-dalil Shopis yang sengaja mereka buat untuk mengakal-akali kaum monoteis, menjebak ummat beragama dengan memutar balikkan fakta yang sebenarnya.

Dalam sebuah tulisannya Dr mustafa Mahmud pernah berdialog dengan salah satu tokoh ateis lulusan barat, beliau ditanya kalau misalnya segala sesuatu yang maujud mesti ada penciptanya ( Tuhan ) dan setiap wujud pasti ada yang mengadakannya ( Tuhan ) lalu siapakah yang menciptakan dan mengAdakan Tuhan ? dalil ini kedengarannya lucu dan terasa outentik kalau didengar secara sepintas karna sama-sama menggunakan dalil kuasalitas yang telah saya beberkan sebelumnya, namun bila diteliti dengan cerdas akan kelihatan beberapa kejanggalan-keganjalan didalamnya. Dr Mustafa Mahmud mengomentari pertanyaan ini dengan celotehan yang lebih menggigit ia berkata “Bila Anda meyakini bahwa Tuhan menciptakan segala yang ada, lalu disatu sisi kalian mempertanyakannya lagi siapa yang menciptakan tuhan, maka ini adalah pertanyaan yang sangat Bodoh, mengapa ? karna jikalau sekiranya kita berkata bahwa pencipta itu adalah Tuhan maka secara otomatis dalam akal sehat kita akan berkata bahwa sang Pencipta bukanlah yang dicipta, bila itu terjadi maka sama halnya kita menggabungkan antara dua Hal yang berbeda sekaligus yaitu antara pencipta dan dicipta.

Sebelum Dr Mustafa Mahmud, Aristoteles seorang filsuf masyhur yang hidup sebelum masehi juga memberikan gertakan yang pedis pada mereka yang tertutup hatinya pada kebenaran, dengan menggunakan dalil rentetan sebab akibat, Aristo mencoba menusuk jantung pertahan kaum atheis yang tak bertuhan, meskipun agak kuno tapi dalil ini masih laku dipergunakan dan sering diadopsi oleh para ahli kalam islam utamanya sekte Asyairah dan Maturidiyyah. Aristo berujar kalau setiap sesuatu itu berasal dari sesuatu yang lain maka sesuatu yang lain ini pasti akan berasal dari sesuatu yang lain juga dan sesuatu yang lain ini lagi akan berasal dari sesuatu yang lain lagi dan ini akan terus menerus sampai tak berhujung. Menurut Aristo sesuatu yang tak berhujung ini pasti akan berhenti pada sesuatu yang pertama yang tidak didahului lagi dengan sebab-sebab, dan sebab yang pertama inilah awal muasal dari berbagai sebab sebab yang terjadi, dialah penggerak pertama ( muharrik al awwal ) yang tidak membutuhkan penggerak yang lain lagi, dialah penyebab yang tidak membutuhkan penyebab lain lagi, pencipta yang tak membutuhkan pencipta lain lagi. Inilah yang disebut dengan Tuhan.

Bila dalil fitrah dan akal telah menetapkan keberadaan Tuhan, maka secara tidak dipaksa kita juga harus meyakini keberadaannya, bila seseorang melenceng dari itu berarti dia telah melenceng dari kebenaran fitrah dan akal. Dan juga berbagai fasilitas dalam dirinya memerlukan update ulang dan revolusi buat merenofasi berbagai kerusakan-kerusakan spritual zahir dan batin yang terjadi.

Tuhan telah memberi kita berbagai macam contoh dari alam sekitar kita buat dijadikan rujukan sekaligus renungan atas kuasa dan keberadaan Dia, dan hanya orang-orang yang bodohlah yang tidak merasakan keberadaan Tuhan dan menafikannya. sanurihim ayatina fil afaq wafi anfusihim hatta yatabayyana lahum annahul haq.

READMORE