Kun Mujaddidan wala takun Mutajaddidan

Kata tajdid atau pembaharuan mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita karena kata yang satu ini sudah jauh-jauh hari manusia yang paling mulia di alam ini ( baca : rasulullah) telah menyampaikan di depan para Sahabat-Sahabatnya tentang adanya seseorang yang akan memperbaharui Agamanya ini nanti di tiap-tiap abadnya.

Kata tajdid sebenarnya tidak selamanya berkonotasi mahmudah ( positif ) dia dapat pula berkonotasi mazmumah ( negatif ) oleh karenanya perlu memahami betul pembaharuan mana yang harus kita jadikan jalan dan yang mana perlu ditolak atau kita tinggalkan, apabila yang dimaksud tajdid itu pemurnian kembali ajaran agam Islam dari segala penyelewengan yang tidak bersandarkan kepada Al- Quran dan As-Sunnah maka pembaharuan ini masuk dalam konotasi yang pertama yaitu tajdid yang positif dan termasuk amalan yang di cintai oleh Allah Swt. Bahkan termasuk golongan yang disebutkan oleh hadits Rasulullah Saw diatas.

Tetapi bila pembaharuan itu untuk mengubah sesuatu yang sudah qati’I, tsabit ( tetap) dalam agama ini atau melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasikan ke masa depan nostalgia atau orientasi dan kerinduan pada masa Salaf yang berlebihan harus diganti dengan pandangan ke masa depan , maka ini masuk kedalam pembaharuan yang di cela, dilarang dan ditolak oleh Islam. Juga termasuk dalam kategori jenis ini adalah upaya membuang salah satu ajaran islam dengan alas an dunia ini semakin mengecil akibat globalisasi, moderenisasi dan kehidupan pluralistic. Pembaharuan yang dilarang itupun mencakup meninggalkan wahyu dan beralih pada hawa nafsu, hukum akal serta maslahat sebagai tolak ukur perbuatan.

Pembaharuan jenis pertama, kata syaikh Abu Hasan Al-Maududi, itulah yang disebut dengan tajdid (pembaharuan) dan orangnya disebut mujaddid ( pembaharu). Adapun lanjutannya pemabahruan jenis kedua sebenarnya bukan pembaharuan tetapi tajaddud ( membuat-buat yang baru) dan pelakunya disebut mutajaddid. Mutajaddid inilah yang sekarang dikenal dengan neo moderenis.

Kalau kita ingin mencermati kembali sejarah timbulnya pemikiran ini maka gerakan tajdud atau neo moderenis ini tidak bersumber dari ajaran islam akan tetapi dia bermuara dari ajaran agama yang dibawa oleh Paulus yang merombak struktur ajaran agama tauhid yang dibawah oleh Nabi Isa As. Dan di perparah lagi di tahun 1960-an, padawaktu itu nihlah Nasrani ( yang kami maksud agama yang talah di buat Paulus pasca Nabi Isa diangkat) membuat sejarah baru dari 2000 tahun ajaran ini didirikan.
Yang pertama : konsili vatikan II tahun ( 1962 – 1965 ) Dan yang ke dua : terbitnya buku the secular city karya : Hervey Cox.

Dari 21 konsili yang diakui sebagai konsili oikumenis oleh gereja katolik sepanjang 2000 tahun sejarahnya, konsili vatikan II merupakan yang terbesar. Tujuan konsili vatikan II digariskan oleh Paus yohanes XXIII sebagai pembaruan didalam gereja katolik ( paus menyebutnya dengan istilah aggiornamento ) Melalui konsili vatikan II inilah gereja mengadakan perombakan besar-besaran dalam ajaran gereja, dimulai dari pengahncuran aspek ushuluddin ( pokok agama) atau teologi, seperti gereja membuang doktrin eksklusif yang berusia ratusan tahun extra eccelesiam nulla salus ( diluar gereja tidak ada keselamatan) menjadi doktrin inklusif yang mengakui keselamatan pada agama lain. dan itu bisa kita lihat sendiri dari sifat Negara adikuasa seperti Amerika dan eropa beserta sekutu-sekutunya yang mayoritas beraqidah pauluisme mendukung gerakan gerakan-gerakan yahudi zionisme, padahal kalu kita melihat dari kacamata nasrani itu sendiri bahwa yahudi merupakan musuh terbesar ajaran agama mereka dikarenakan Yahudilah yang menggantung Tuhan Yesus Keristus di kayu salib.

Salah faham

Kebanyakan dari tokoh cedikiawan muslim ataupun para pemikir muda Islam salah di dalam memahami kata tajdid atau pembaharuan dalam Islam itu, kebanyakan dari mereka terpengaruh oleh arus pemikiran ala Barat yang memisahkan kehidupan ruhani dan kehidupan materi dan melupakan terminologi yang datangnya dari agama suci ini, mereka mendifinisikan tajdid itu dengan moderenisasi.

Dari moderenisasi ke liberal

Salah satu tokoh mutajaddid pemikir islam Indonesia Nurkholis Majid ( cak Nur ) pernah berkata : bahwa inti dari moderenisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah tuhan maka dari itu modernitas membawa pendekatan pada tuhan yang maha esa.

Sebenarnya alur pemikiran mutajaddid atau neo modernis ini berasal dari tashawwur mereka terhadap alam ini dan apa yang ada di dalamnya termasuk juga pandangan mereka tentang kehidupan manusia. Menurut mereka kehidupan manusia terbagi menjadi dua bagian yang pertama adalah kehidupan spiritual dan yang terakhir kehidupan material. Kehidupan spiritualadalah hubungan antara manusia dan penciptanya yang dimana dalam masalah ini manusia tidak dapat di ganggu oleh siapapun karena ia berhubungan dengan pribadi manusia disinilah tugas agama untuk membantu pribadi tersebut menumbuhkan sifat moral dan etika didalam diri manusia tersebut, adapun kehidupan material ( duniawi) yang dimaksudkannya adalah seluruh aktifitas yang dilakukan di alam raya ini mencakup kegiatan sosial, politik, ekonomi, hukum,pendidikan dan budaya. Kehidupan jenis kedua ini bersifat kolektif tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri dan penyelesaiannya hanya dapat dilakukan oleh sains dan teknologi melalui akal manusia, agama dalam hal ini hanya membina etika, moral dan tanggung jawab saja.

Bila agama berperan dalam mengatur masalah dunia akan menghambat kemajuan karena menghambat kreatifitas. Oleh karena itu, seruan berikutnya ( sekte ini ) adalah liberalisasi, yang mereka definisikan sebagai membebaskan kehidupan duniawi dari nilai-nilai sakral agama. Dengan kata lain tidak perlu ada aturan dan hukum agama dalam urusan politik, sosial, budaya selain moral dan etika. Dari pemikiran seperti ini muncullah pemikiran-pemikiran cabang lainnya seperti sekularisme, pluralisme, yang akhirnya menghancurkan bukan hanya dalam masalah hukum syariat amaliyah bahkan juga dalam masalah pokok agama ( ushuliyyah ). Seperti yang dikatakan oleh Max Weber bahwa inti moderenitas adalah rasionalisasi yang mensyaratkan adanya proses sekulerisasi.

Sebenarnya cara berfikir yang ditempuh oleh kaum mutajaddid adalah teori dialektika-materialis yang beranggapan bahwa setiap materi saling berkaitan dengan yang lainnya, yang apabila satunya berubah yang lain akan berubah dan terus berubah hingga menuju pada keadaan yang lebih baik, padahal tidak semua materi itu berubah, dari dulu sampai sekarang manusia masih butuh makan, minum, lapar butuh kasih sayang dan banyak hal yang tidak berubah pada diri manusia itu sendiri. Ustad Adian Husini dalam artikelnya yang berjudul ( 37 tahun pembaharuan Indonesia ) mengatakan bahwa : Islam bukan agama sejarah dan agama budaya. Islam adalah agama final dan sempurnah dari awal. Karena Islam memiliki teks kitab suci yang final, yang terjaga otentitas teks dan maknanya. Bagi islam, hukum haramnya Babi tidak pernah berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sebab teks ayat Al-Quran tentang hal ini ( Q,S 5:3 ) tidak berubah. Konsep teks Al-Quran yang final ( yang lafadz dan maknanya dari Allah ) berbeda dengan konsep teks Bibel sebagai teks yang ditulis Manusia yang mendapat inspirasi dari Roh Kudus dan berubah dari waktu kewaktu. Karena itu kesalahan fatal dari gerakan pembaharuan islam dalah menjiplak begitu saja pengalaman pembaharuan pada agama lain untuk diterapkan kedalam Islam, dengan menyamakan karakter ajaran agama islam dan sejarah islam dengan karakter ajaran Yahudi-Keristen dan sejarahnya di barat.

Di dalam Islam memang tidaklah dilarang pembaharuan yang membuka pintu ijtihad bagi mereka yang mereka yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam berijtihad, dan juga mempersiapkan dan mendidik orang-orang agar mampu berijtihad seta menggali hukum-hukum syara untuk menjawab problematika kehidupan yang terus-menerus bermunculan, Yang dilarang Itu adalah melakukan Attajaddud fi Ad din yang mana dalam hal ini menghancurkan sendi-sendi dan merevolusi ajaran agama ini. wallahu a'lam bis sawab.

 

Interes Ketuhanan Dan Aestetika Menurut Prespektif Ibnu Araby

Perlu diketahui sebelumnya bahwa hakekat interes manusia terhadap Tuhannya adalah tatkala manusia mencintai Allah hanyalah Karena zatnya, bukan karena manusia itu berharap untuk mendapatkan pahala dari Tuhan bukan pula kerna takut akan azabnya. dan hakekat cinta itu akan terealisasi apabila seorang hamba mencintai Allah karena aesthetikanya ( li-jamalihi ) dan kesempurnaan karasteristiknya ( kamali-sifatihi ). Inilah hakekat cinta yang ingin dikemukakan oleh Ibnu Araby. Bukan hanya sampai disitu bahkan penciptaan alam pun tidak lepas dari hubungan antara al hub dan al jamal ini, menurut Ibnu Araby al hub merupakan asal dari setiap keberadaan dan aesthetika merupakan ilustrasinya ( suratihi )[1].

Ibnu Araby juga menjelaskan sebab terjadinya hubungan antara al hub dan jamal, ia menganalogikan dengan bahwa keberadaan cantik merupakan sebab munculnya Cinta. Ia juga menyebutkan bahwa sesuatu yang indah dipandang mata akan memberikan pengaruh dan kelezatan yang luar biasa bagi mata yang melihatnya. Dan dari pengaruh kecantikan inilah nantinya menimbulkan kecintaan dan kerinduan. Jadi cinta pada hakekatnya adalah kecondongan hati untuk melakukan kebaikan pada yang dicintai, dikarenakan kebaikan itu adalah keindahan dan keindahan merupakan sebab dari cinta.[2]

Pendapat Ibnu Araby ini tidak jauh beda dengan pendapat Filosof yunani Plato yang mengaitkan hubungan antara al hub dan al jamal, menurut plato bahwa cinta itu harus pada sesuatu yang indah saja dan bukan pada sesuatu yang buruk atau dia hanya ada pada sang pencinta dan bukan pada apa yang dicintai, dan dari sini nantinya akan memuncak esensi cinta si pencinta pada yang dicintai dan itu tidak terjadi sebaliknya. Karena menurut Plato sesuatu yang dicintai itu pasti indah, lembut dan sempurnah dan dari dia pulalah asal dari seluruh nikmat. Dan yang dicintai ini berbeda dengan jauhar sang pencinta.[3]

Lalu kemudian hubungan antara Tuhan dan keindahan sendiri seperti bagaimana ? bukankah salah satu fase yang ingin diraih oleh Ibnu Araby adalah al hubbub ilahy ? dalam hal ini Ibnu Araby mempunyai prohibisi yang kuat, ia langsung mengambil argumen tersebut dari sabda Rasul mulia, beliau pernah bersabda “ bahwa sesungguhnya Tuhan itu indah dan ia mencintai keindahan ” dari hadits inilah Ibnu Araby mempunyai pendapat yang kokoh bahwa pensifatan Allah terhadap dirinya yang cantik, mengharuskan manusia untuk mencintainya.

Argument Ibnu Araby tentang keaestikaan tidak sampai disitu saja, akan tetapi menurut dia kita juga harus mencintai ilustrasi Tuhan yang indah di alam ini. Karena semua yang terdapat dialam ini merupakan ilustrasi dari jati diri Tuhan, maka barang siapa yang mencintai ilustrasi Tuhan ini ( as-suratul al-haq) maka sesungguhnya ia telah mencintai Tuhan sendiri.[4]

Hubungan antara al hub dan al jamal yang berujung pada wihdatul wujud ini tidak bisa di elakkan dari mazhab Ibnu Araby, Karena memang beliau merupakan salah satu tokoh Panteisme dalam dunia mistik Islam, menurut dia bahwa keaesthetikaan Tuhanlah yang menyebar pada seluruh ciptaannya bahkan disetiap makhluknya, dan alam ini merupakan penampakan jati diri dari aesthetika ( jamaly ) Tuhan. Oleh karenanya siapa saja yang mencintai apa yang ada di alam ini pada hakekatnya dia telah mencintai Allah, karena dicinta merupakan sifat pada sesuatu yang ada ( al-maujud ) dan tidak ada yang maujud ( di alam ini ) kecuali Allah.[5]



[1] DR. Ahmad Mahmud Al Jazzar “Al fana wal hubbul ilahy inda Ibnu Araby ” hal : 81

[2] Ibnu Araby “ Futuhatul makiy “ jilid 2 hal 542

[3] Plato “ muaddab” tarjamah Dr. ali sami nassyar dan lainnya hal 78. lihat : DR. Ahmad Mahmud Al Jazzar “Al fana wal hubbul ilahy inda Ibnu Araby ” hal : 82

[4] Ibnu Araby “ Futuhatul makiy “ jilid 2 hal : 114

[5] Ibid. hal : 114

 

Mazhab Panteisme Ibnu Araby dan Fana'-nya Seseorang Kedalam Interes Ketuhanan

Wihdatul wujud merupakan nilai akhir yang ingin dicapai oleh Ibnu Araby, tetapi sebelum mencapai derajat tersebut Ibnu Araby menjelaskan terlebih dahulu fase yang harus dilewati seseorang pemburu cinta sebelum melebur kedalam jiwa suci Tuhan, salah satu fase yang terpenting dilalui oleh pelaku mistik adalah dia terlebih dahulu fana kedalam cinta ilahy, dan al fana disini bukanlah fana yang secara sempit di fahami kaum sufi klasik sebelum Ibnu Araby yang mengartikan fana dengan hilangnya amal buruk dan tetapnya amal kebaikan, tetapi al fana disini adalah al fana fi hubbul ilahy dimana seseorang menghilangkan seluruh keinginannya kecuali hanya pada al mahbub ( Allah) dan juga menghilangkan seluruh pandangan kita kecuali pandangan pada al mahbub. Dan pada akhirnya seorang mistikus nantinya sampai pada titik akhir yaitu dimana ia menghilangkan segala apa yang ada di alam ini kecuali al mahbub ( Allah ). Pada argument ini Ibnu Araby selalu menggunakan dalil kalam ilahy “ semuanya akan sirnah dan yang kekal hanyalah wajah Tuhanmu ”[1]

Setelah seseorang telah me-nafi-kan ( baca : fana) segala sesuatu yang ada di alam ini dan menetapkan ( baca : baqa) bahwa tidak ada yang ada hanyalah al haq saja, maka pada fase inilah seseorang tersebut telah mencapai puncak wihdatul wujud dan dia telah melebur kedalam cinta ilahy.[2]

jadi kecintaan yang penuh pada al mahbub ( Al fana fil hubby ilahy ) menurut Ibnu Araby bukanlah puncak dari segalanya, akan tetapi puncak dari segalanya adalah tatkala seseorang tersebut melebur ( fana ) kedalam cinta yang sangat kepada ilahy dan bersatu bersamanya, dan inilah ittihad derajat yang paling tertinggi dalam mistiknya, yaitu tatkala sang pencinta hancur lebur kedalam jiwa yang dicintai ( al haq ta’ala). Dan inilah makna dari misteri ungkapan Syaikhul Akbarana man ahwa wa man ahwa ana[3]

Apabila mustawa mistis yang telah dicapai seseorang itu telah mencapai pada klimaksnya, maka seseorang tersebut akan menjadi manusia yang sempurnah, sempurnah disini dalam artian bahwa seluruh perbuatan yang ia lakukan telah mencapai derajat al haq. Karasteristik al haq sudah merasuk kedalam diri seseorang tersebut dan dia memang berhak untuk mendapatkannya, argument ini dimunculkan berkat hasil dari intrepretasi Ibnu Araby bahwa Allah menciptakan manusia dari ilustrasi ( gambaran ) dirinya sendiri dan inilah yang disebut oleh Ibnu Araby dengan wihdatul wujud.

Ibnu Araby menjelaskannya dalam kitab masailnya “ sifat-sifat al haq ( Tuhan ) akan saling mengisi dengan sifat makhluk, dan dengan itu kita ( baca : makhluk) akan digelari dengan karesteristik Tuhan seperti al kamal, al hayah, al ilm, al qudrah, al iradah dan semua sifat Tuhan lainnya, dan ia pun ( baca : Allah ) mensifati dirinya dengan sifat yang kita miliki seperti al ain dan al yad, apabila saling-masuknya ( at-tadakhul ) sifat kita dan sifat Allah telah jelas, maka pada waktu itu kitapun menjelma bersamanya ( Ittihad bersama Tuhan ) dan dalam situasi sepeti ini maka iapun berkata ana man ahwa wa man ahwa ana.[4]

Dari sini kita bisa berkesimpulan bahwa al ittihad yang ingin dijelaskan oleh Ibnu Araby adalah ittihad yang mempunyai kolerasi yang harus dengan al hub ia merupakan konsukwensi logis bagi setiap interes manusia dan juga menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang di ciptakan dari ilustrasi Tuhan ( al makhluk ala as surati al ilahiyyah ) dan inilah tujuan dari interes manusia pada Allah yaitu tatkala manusia bersatu bersama Tuhannya dan pada waktu pencinta itu telah menjadi yang dicinta dan yang dicinta menjadi pencinta.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana Ibnu Araby bisa menunggalkan seluruh jagat raya ini menjadi satu ? bukankah jagat raya ini banyak ? disinilah nantinya Ibnu Araby menelorkan sebuah mustalahat yang ia sebut dengan wihdatul syuhud, jadi penunggalan semua alam ini menurut dia adalah menunggalkan penglihatan pada keberadaan satu yang mutlak, karena dialah sumber hakiki dari semua keberadaan yang ada di jagat raya ini. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Araby dalam bukunya al jalalah, bahwa “ tidak ada keberadaan ( maujud ) kecuali keberadaan yang satu, dan sesuatu yang ada dengannya itu akan hilang dengan sendirinya, lalu bagaimana dengan yang ada dengannya dan hilang dengan sendirinya itu bisa besatu ( dengan ada selamanya dan tidak pernah hilang. pen.. )…… jadi penunggalannya ( ittihad ) itu hanya dengan lewat menyaksikan keberadaan al haq yang mutlak tunggal dan maha sempurnah.( syuhud al wujud al haq al wahid al mutlaq al kamil )[5]

Dari nash Ibnu Araby diatas menjelaskan bahwa al fana juga merupakan konsukuensi logis dari ittihad, dan ia tak dapat dipisahkan, al fana akan selalu berdiri pada penunggalan dan bukan pada reinkernasi.

Dan padawaktu bersatunya pecinta pada yang dicintainya, maka sang pecinta itupun akan menjadi fana dan pada waktu yang sama ia hanya menyaksikan keberadaan yang satu , dan inilah wujud yang sebenarnya, wujud al haq dan bukan wujud yang lainnya. Dan ini di goreskan oleh Ibnu Araby dalam syairnya :

Jika ada yang bertanya apa penyebab banyaknya sesuatu dan selainnya

Maka katakanlah itu merupakan tajally tuhan pada ilustrasinya

Dan mata ini tidak akan melihat kecuali hanya satu selamanya.[6]



[1]DR. Ahmad Mahmud Al Jazzar Al fana wal hubbul ilahy inda Ibnu Araby ” hal : 207

[2] Ibid

[3] Ibid : 208

[4] Ibnu Araby “ kitab masail” hal : 29-30

[5] Ibnu Araby “ kitab al jalalah” makhtutat no 1451 dar el kotob al masriyyah, di nukuil dari kitab DR. Ahmad Mahmud Al Jazzar “Al fana wal hubbul ilahy inda Ibnu Araby ” hal : 214

[6] Ibnu Araby “ diwan” hal 80

 

Ibnu Araby Dan Pluralisme Agama

Pluralisme Agama yang di bahas oleh Ibnu Araby disini berbeda dengan pluralisme Agama yang di tawarkan oleh kaum Liberal di Indonesia, wihdatul adyan dalam konsep Ibnu Araby mengharuskan seseorang terlebih dahulu melebur bersama hubbul ilahy dan Aesthetikanya, seseorang harus terlebih dahulu melakukan meditasi, dan menghilangkan segala noda dosa yang membandel dari tubuhnya, ia juga harus mensucikan seluruh jagad ini dari segala macam ilustrasi maujud dan memanunggalkan wujud yang hakiki. Yaitu pemilik wujud mutlak Allah ta’ala.

Mungkin pembahasan ini agak sedikit liar dalam dunia mistik Islam dan sangat berbahaya bagi aqidah sebahagian kalangan, dan tidak sembarang orang yang mampu untuk ikut nimbrung berdemosntrasi didalamnya, kecuali mereka-mereka yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam ilmu Tasawwuf.

Faham wihdatul adyan Ibnu Araby ini nantinya membawa pelaku eksperimennya mengakui seluruh Agama yang ada, bukan hanya Agama samawi hingga Agama Pagan-pun akan ia ikuti, sangking liarnya pemahaman ini, seseorang tidak akan sanggup nantinya membedakan yang mana Tuhan dan yang mana makhluk-nya.

Hubungan Antara Wihdatul adyan Dan Wihdatul Wujud.

Menurut Ibnu Araby bahwa ciri-ciri dari seseorang yang arif sejati adalah tatkala ia meyakini seluruh keyakinan yang ada dan menyembah pada seluruh penjelmaan Allah di alam ini, Karena menurut dia bahwa seluruh jagat raya ini merupakan tajalliyat Allah ta’ala, pernyataan Ibnu Araby ini tertuang dalam bukunya tajalliyat, ia menegaskan bahwa seorang arif yang sempurnah “ adalah orang yang melihat semua sesembahan yang ada di alam ini merupakan penjelmaan ( tajally ) dari Allah yang di sembah, oleh karenanya kita menamai semua sesembahan yang ada itu dengan Tuhan, hanya saja diantara sesembahan tersebut mempunya nama khas tersendiri seperti batu, pohon, hewan, manusia, bintang ataupun malaikat, dan semua itu hanyalah nama khas mereka saja “ [1]

Jadi sebenarnya Tuhan itu menyebar disetiap penampakan yang ada di alam ini, maka dari sini menunjukkan bahwa Ibnu Araby meyakini semua keyakinan yang di yakini oleh setiap manusia itu tidaklah salah, karena pada hakekatnya Tuhan yang ia sembah adalah Tuhan yang kita sembah juga, hanya saja Tuhan yang mereka sembah mempunya nama sendiri, tapi itu bukanlah masalah yang serius buat Ibnu Araby karena perbedaan nama bukanlah permasalahan yang fundamental selama esensinya itu masih tetap sama, itu tak jauh beda menurut Ibnu Araby dengan perbedaan nama-nama Allah seperti al qadir, al alim, al khalik, ar-razik. Secara lafadz dan makna memang berbeda tetapi pada hakekatnya itu adalah satu.

Begitupun seluruh ilustrasi-ilustrasi yang muncul dan bertebaran di alam ini pada hakekatnya adalah Satu , karena sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Araby sebelumnya bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan, oleh karenanya setiap apapun yang di sembah oleh seorang abid maka pada hakekatnya dia menyembah Allah yang ber-tajally pada setiap nama-nama yang mereka sembah, dan seluruh keyakinan dalam bentuk ini adalah benar, karena tidak ada yang mereka sembah itu hanyalah zat Allah dan sifatnya, dan semua ilustrasi sembahan itu pada hakekatnya adalah satu, hanya saja penisbahan dan jalurnya saja yang berbeda.[2]

Ibnu Araby menambahkan dalam futuhat-nya bahwa seorang arif yang hakiki adalah mereka yang mengatakan dan meyakini adanya wihdatul adyan, dan ia tidak boleh mengatakan dalam dirinya bahwa dia memeluk satu Agama saja, karena seorang arif sejati dia akan melihat bahwa seluruh ilustrasi yang ada di sekitarnya ini merupakan Allah.[3]

Bahkan Ibnu Araby dengan berani mengejek seorang arif yang tidak meyakini adanya wihdatul adyan karena pada hakekatnya ia tidak mengetahui permasalahan sebenarnya, ia sebenarnya tidak mengenal Allah kecuali hanya secuil saja dan ia akan selalu mengingkari tajally Tuhan pada yang lainnya, arif yang munkir ini akan selalu di kekang oleh doktrin piciknya dan akan selalu meyakini keyakinannya saja tampa meyakini keyakinan yang lainnya.[4] Menurut Ibnu Araby seandainya saja mereka mengetahui dengan benar pemahaman wihdatul adyan ini maka ia tidak akan mengingkari seluruh ilustrasi-ilustrasi penjelmaan Tuhan.

Dari sini maka akan jelaslah bahwa keyakinan wihdatul wujud Ibnu Araby akan menelorkan pemahaman wihdatul adyan, karena wihdatul wujud itu akan mengisyaratkan seluruh jagat raya ini merupakan penjelmaan Tuhan, dan bila Tuhan telah menjelma ( baca : tajally ) pada ilustrasinya ( baca : makhluk-nya ) maka apapun yang ia sembah di alam ini adalah pada hakekatnya adalah Tuhan juga.

Oleh karena semua yang ada ini adalah Tuhan, maka setiap orang tidak akan boleh disalahkan apabila dia mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan, maka tak heran sebahagian sufi yang telah berkeyakinan seperti ini akan mengatakan pada dirinya sendiri “ subuhany, subuhany, subuhany ” maha suci saya, maha suci saya, maha suci saya. Atau mengatakan ana al haq. Saya adalah Tuhan.

Menurut DR. Ahmad Mahmud Al Jazzar. Bahwa pemahaman Ibnu Araby tentang wihdatul adyan ini sangatlah dipengaruhi oleh pemikiran pluralisme Agama Al Hallaj, karena di dalam sejarah Tasawwuf Islam menegaskan bahwa Al Hallaj-lah mistikus Islam yang paling pertama kali memperkenalkan faham wihdatul adyan ini dalam sejarah mistik Islam secara khusus dan pemikiran Islam secara umum. Dan eksperimen ini di lakukan oleh Al Hallaj tatkala ia menjelaskan tentang hakikat muhammadiyah dan qidam-nya nur Muhammad.[5] Menurut Al Hallaj bahwa seluruh Agama-Agama adalah masdar-nya satu, semuanya adalah sama meskipun nama dan laqab-nya saja yang berbeda. Semua maksud Agama itu satu dan tidak akan berubah.[6] Iapun banyak menulis syair tentang faham wihdatul adyan diantaranya.

Aqada al khalaiqu fil ilahi aqaaidan

Wa ana I’taqadtu jamiy’a ma I’taqaduhu

Selain terpengaruh oleh Al Hallaj, Ibnu Araby juga menggunakan argumen-argumen nash qurany, diantaranya ayat 23 dari surah Al isra yang artinya “ Dan Tuhanmu memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia ” ia memaknainya dengan bahwa Tuhan telah memerintahkan semua sembahan yang disembah oleh hamba menjadi ilustrasi Tuhan, bahkan ilustrasi itu adalah Tuhan sendiri.[7]

Tidak sampai disitu saja, ia juga banyak menggunakan argument dari hadits-hadits Rasul Ibnu Araby menegaskan bahwa barangsiapa yang telah mengetahui sabda Rasul “ seseungguhnya Allah telah menciptakan adam dari gambarannya ( ilustrasinya ),” dan juga mengetahui sabda Rasul “ barangsiapa yang mengetahui dirinya maka dia telah mengetahui Tuhanannya ” dan firman Allah dalam surah fussilat ayat 56 “ kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kami dari segenap ufuk dan pada diti mereka sendiri “ maka ia sebenarnya telah melihat Tuhannya, dan melihat Tuhan disini maksudnya adalah wihdatul adyan.[8]


[1] Ibnu Araby “ kitab tajalliyat” jilid 2 hal 43

[2] Ibnu Araby “ al ahadiyah” jilid 1 hal 5

[3] Ibnu Araby “Futuhatul makiy “ jilid 3 hal 132.

[4] Ibid

[5] .DR Ahmad Mahmud Al Jazzar Al fana wal hubbul ilahy inda Ibnu Araby ” hal : 264

[6]Akhbar Al Hallaj ” hal : 39

[7] Ibnu Araby “ masail ad daqaiq fi ilmi haqaiq – makhtutat – lembaran ke 3. di nukil dari DR Ahmad Mahmud Al Jazzar Al fana wal hubbul ilahy inda Ibnu Araby ” hal : 266

[8] DR Ahmad Mahmud Al Jazzar Al fana wal hubbul ilahy inda Ibnu Araby ” hal : 267